BACA.NEWS – Rabbani hingga Hijaber dalam Industri Pornografi, Dua perempuan berjalan santai di sepanjang jalan di Kota Jeddah.
Keduanya mengenakan gamis longgar berwarna hitam, lengkap dengan jilbab tertutup, bahkan seorang lagi melengkapinya dengan burka.
Tak lama kemudian, segerombolan pemuda datang mengelilingi keduanya. Mereka berteriak-teriak dan sesekali sengaja membenturkan diri ke arah kedua perempuan itu.
Pelecehan tersebut diunggah di kanal YouTube pada 18 Juli 2015, bertepatan dengan perayaan Idul Fitri. Sepekan kemudian, 25 Juli 2015, YouTube menampilkan fenomena serupa.
Seorang perempuan di sebuah ruang publik terus digoda dua pemuda Saudi di sepanjang jalan di wilayah Taif, Makkah, Di satu momen, salah seorang pelaku bahkan nekat untuk meraba-raba si perempuan.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pekan pertama Februari 2018, muncul tagar ##MosqueMeToo.
Tagar tersebut pertama kali dilontarkan feminis Amerika-Mesir dan wartawan Mona Eltahawy untuk mendukung Sabica Khan, perempuan asal Pakistan, yang mengalami pelecehan seksual ketika melakukan tawaf, salah satu rukun haji atau umrah dengan mengelilingi Ka’bah selama tujuh kali.
Pemilik akun Anggi Angguni dari Indonesia juga mengaku pernah mengalami pelecehan seksual ketika menjalankan ibadah haji pada 2010 bersama ibu dan saudara perempuannya.
Sementara itu, Mona Eltahawy, yang sudah menjalankan ibadah haji empat kali, lewat akun @monaeltahawy pada 6 Februari 2018 mengaku pernah mengalami pelecehan saat berhaji dengan keluarganya pada usia 15 tahun.
Rabbani hingga Hijaber dalam Industri Pornografi
Andai tim kreatif dan manajemen perusahaan jilbab Rabbani mengikuti pemberitaan tersebut, niscaya tak akan membuat narasi iklan yang konyol menjelang tutup tahun 2022 ini.
Narasi yang dianggap menyalahkan dan membodoh-bodohkan perempuan berpakaian minim ‘seolah wajar’ untuk mengalami pelecehan dari para lelaki mesum.
“Wanita yang berpakaian terbuka akan mengundang pria punya niat dan berpikiran jorok. Tidak berlaku untuk sebaliknya,”
begitu salah satu kalimat iklan Rabbani.
Kekonyolan semacam itu ternyata bukan yang pertama. Rabbani sepertinya sengaja setiap tahun memicu kontroversi lewat iklan untuk mendongkrak penjualan. Pada pertengahan Agustus 2018, Rabbani pernah membuat narasi iklan seperti ini:
‘Anak Jaman Now. Rok Makin Di atas, Prestasi Makin Di Bawah. Jangan Sampe!’.

Ahai… mengukur kesalehan dan prestasi hanya dari pakaian? Sederhana sekali nalar Rabbani.
Lalu menjelang Hari Raya Idul Adha, Agustus 2019, perusahaan itu membuat ucapan selamat di gerbang tol Pasteur, Bandung. Bunyinya,
“Selamat Idul Adha 1440 H. Korban itu gak wajib, yang wajib tu berhijab.”
Dalam kasus ini, Rabbani telah mereduksi dan memaksakan pemahaman hukum. Sebagian ulama memang menghukumi kurban itu sunah. Tapi sejatinya kurban itu ibadah sosial yang jauh lebih utama dibanding ibadah sunah yang sifatnya ritual.
Karena itu, meskipun sama-sama dihukumi sunah, berkurban sejatinya jauh lebih utama dibanding salat duha.
Sementara itu, mewajibkan hijab sebetulnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama atau khilafiyah. Ahli tafsir Prof Quraish Shihab adalah salah satu ulama yang berpendapat hijab itu tidak wajib.
Istri Gus Dur, Ibu Sinta Nuriah, dan para putrinya juga cuma mengenakan kerudung, bukan jilbab. Begitu juga dengan Ibu Omi Komariah, isteri cendekiawan Nurcholis Madjid.
Hingga pertengahan 1980-an, pemakaian jilbab oleh kaum perempuan di Indonesia harus dilakukan dengan penuh perjuangan.
Butuh tekat dan nyali tersendiri untuk menghadapi risiko nyinyir dari orang-orang sekeliling. Juga perlakuan diskriminatif dari atasan di lembaga-lembaga resmi pemerintahan maupun swasta.
Beberapa teman perempuan yang berjilbab semasa SMA pasti punya nilai jelek untuk mata pelajaran olahraga karena tak mengikuti olahraga renang.
Bahkan di SMA 1 Bogor, beberapa siswa yang berjilbab dikeluarkan dari sekolah. Mereka dianggap sebagai pemberontak karena tak mematuhi aturan berseragam.
Hal itu mulai berubah ketika Menristek BJ Habibie membentuk dan memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia pada akhir 1990. Lalu Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru menunaikan haji pada 1991.
Pengenaan jilbab di sekolah dan instansi-instansi pemerintah pun mulai longgar. Pada fase ini, berhijab seperti sunah. Mereka yang mengenakannya diapresiasi, tapi yang tidak pun tidak dihujat.
Bertahun kemudian, hijab menjadi tren dan mode dalam dunia busana di Tanah Air. Industri pakaian pun menyambut dan mengeksploitasnya dengan gegap gempita.
Begitu juga dengan sebagian ustaz, baik yang garis keras maupun (mungkin) baru hijrah, mengkampanyekan dalil-dalil tentang keutamaan mengenakan jilbab.
“Sehelai rambut yang terlihat laki-laki, balasannya di neraka 70 ribu tahun”, “Kasihan ayahnya masuk neraka karena putrinya tidak berhijab”, atau “Dosa jariah pasang foto tanpa hijab di internet.”
Industri Pornografi
Dampaknya, muncul fenomena ‘jilboob’ atau ada ibu-ibu yang ke warung mengenakan jilbab tapi bajunya jenis daster sebetis. Kerap juga terjadi fenomena lepas pasang jilbab. Ini karena sebagian dari mereka tak terlalu paham soal batasan aurat. Mungkin cuma tahu bahwa rambut wajib ditutupi, tapi kemenonjolan dada dibiarkan.
Lebih gila lagi, bila kita mengutak-atik sejumlah situs porno, ada ratusan bahkan mungkin ribuan film porno yang pemerannya mengenakan jilbab. Entah itu film yang sengaja diproduksi oleh industri pornografi, maupun video-video viral amatiran.
Semoga untuk yang terakhir ini, tim kreatif dan manajemen Rabbani memang tidak pernah melihatnya. Tapi apakah dengan paparan saya ini Rabbani akan memproduksi iklan-iklan yang lebih cerdas? Atau tetap melanjutkan dengan kontroversi yang lain demi meningkatkan penjualan?