Kemiskinan dan Pendidikan

Kemiskinan dan Pendidikan

Kemiskinan dan Pendidikan memiliki hubungan erat dengan perkembangan dunia pendidikan. Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki tingkat pendapatan yang lebih besar ketimbang mereka yang berpendidikan rendah.

Orang dengan tingkat pendidikan tinggi punya peluang lebih kecil untuk jadi miskin.

Lebih lanjut, menurut Gunn dan Duncan, anak-anak yang mengalami kemiskinan saat prasekolah dan awal sekolah cenderung memiliki jumlah tahun lama sekolah yang lebih rendah di bandingkan dengan anak-anak yang mengalami kemiskinan saat memasuki jenjang lebih tinggi.

Anak-anak yang mengalami kemiskinan saat usia dini juga lebih rentan putus sekolah.

Tingginya Angka Kemiskinan

Di Indonesia, pada 2021, sebanyak 31 persen anak pada tingkat usia SMA dari RT dengan pengeluaran per kapita di kuintil 1 (pengeluaran terbawah) tak bersekolah, sementara pada tingkat SMP 11 persen tak bersekolah.

Bandingkan dengan anak dari Rumah Tangga dengan pengeluaran per kapita di kuintil 5 (pengeluaran teratas), di mana hanya 12 persen anak di tingkat SMA dan 4 persen di tingkat SMP yang tak bersekolah.

Pendidikan dan kemiskinan, terutama anak- anak, merupakan fenomena multidimensi yang tak bisa digambarkan hanya dari sisi moneter.

Setiap anak yang tinggal di rumah tangga miskin rentan mengalami tekanan multidimensi. Angka kemiskinan Indonesia yang terus menurun di tengah krisis pangan dan energi dunia merupakan pencapaian luar biasa.

Sangat di sayangkan di balik keberhasilan peningkatkan kesejahteraan masyarakat, jutaan anak masih hidup dalam kemiskinan.

BPS pada Maret 2022 merilis angka kemiskinan di Indonesia sebesar 9,54 persen. Turun 0,17 persen poin ketimbang September 2021.

Berdasarkan kelompok umur, ternyata ada 11,8 persen penduduk berumur di bawah 18 tahun yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional (Rp 16.815,63 per hari).

Angka ini jauh lebih besar ketimbang penduduk berusia 18 tahun ke atas yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, yang sebesar 8,60 persen.

Lingkaran Setan Kemiskinan

Kemiskinan dan Pendidikan
Lingkaran Setan Kemiskinan Anak (Foto: Susanto,SP, Ketua DPD PKS Bungo)

Anak-anak yang tumbuh dalam ekonomi rendah berpeluang mengalami kerugian ganda dalam hidupnya kelak.

  • Pertama, mereka berisiko tak berkesempatan mengakses fasilitas pelayanan sosial.
  • Kedua, pelayanan yang tersedia bagi mereka memiliki kualitas rendah.

Pada akhirnya, mereka akan terus terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan; hidup dalam kekurangan, terabaikan, dan terkucilkan.

Konsekuensi dari kemiskinan anak sangatlah serius. Di dunia, anak-anak miskin berpeluang dua kali lebih besar meninggal pada masa kanak-kanak ketimbang anak-anak yang lebih kaya.

Bagi mereka yang tumbuh dalam krisis kemanusiaan, risiko kekurangan dan pengucilan melonjak drastis.

Bahkan, di negara-negara terkaya di dunia, satu dari tujuh anak masih hidup dalam kemiskinan.

Saat ini, satu dari empat anak di Uni Eropa berpeluang jatuh miskin (Unicef).

Kemiskinan dan kemiskinan, terutama anak- anak, merupakan fenomena multidimensi yang tak bisa digambarkan hanya dari sisi moneter.

Setiap anak yang tinggal di rumah tangga (RT) miskin rentan mengalami tekanan multidimensi yang bisa memengaruhi masa depannya.

Di mana pun mereka berada, anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan akan hidup dengan standar kualitas hidup yang buruk.

Misalnya, kondisi rumah tinggal dengan sanitasi dan air minum yang kurang layak memengaruhi kemampuan anak-anak untuk tumbuh maksimal.

Akibat rendahnya pendapatan Rumah Tangga miskin, mereka juga berisiko kehilangan hak-hak dasar, seperti kesempatan untuk sekolah dan kecukupan gizi agar terhindar dari malnutrisi.

Nantinya, ketika dewasa, mereka hanya memiliki sedikit keterampilan dan peluang terbatas di pasar kerja.

Kemiskinan memiliki hubungan erat dengan pendidikan.

Sementara jika melihat tingkat penyelesaian pendidikan pada tahun 2021, hanya 48 persen penduduk yang berada pada kuintil 1 yang berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat SMA.

Jauh berbeda dengan penduduk kuintil 5, di mana yang berhasil menamatkan pendidikan SMA mencapai 82 persen.

Bungo Peringkat 8 di MTQ Tingkat Provinsi Jambi

Peningkatan Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan, 80 persen kepala keluarga dari Rumah Tangga miskin tingkat pendidikannya lebih rendah dari SMA dan hanya 18 persen yang memiliki ijazah SMA serta 2 persen yang menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi.

Angka-angka ini menunjukkan hubungan timbal balik pendidikan dan kemiskinan. Tingkat edukasi mempengaruhi tingkat kelemahan ekonomi seseorang dan pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kemiskinan seseorang.

Bantuan terkait edukasi yang telah lama dikucurkan oleh pemerintah, berupa dana BOS dan program Indonesia Pintar.

Biaya sekolah pada dasarnya telah diringankan, tetapi kenyataannya masih ada biaya tambahan lain yang harus di bayarkan kepada RT miskin, seperti seragam, buku, dan biaya transportasi,

Terutama di daerah perdesaan, waktu tempuh anak ke sekolah terdekat bisa lebih dari satu jam dalam sekali jalan.

Tantangan lain yang dihadapi oleh anak-anak yang tumbuh di rumah tangga miskin yang menyebabkan kerugian besar bagi mereka adalah rendahnya kualitas sekolah yang tersedia untuk mereka.

Ruang kelas yang penuh sesak, meja yang rusak, tidak tersedianya komputer, serta terbatasnya guru juga merupakan masalah yang sering dihadapi, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar di Indonesia.

Selain bantuan moneter, masalah ketidakmerataan kualitas pendidikan di Indonesia perlu menjadi perhatian pemerintah dalam rangka memerangi kemiskinan.

Sejatinya pendidikan memegang peran besar untuk memutuskan lingkaran setan kemiskinan pada anak di masa depan.

Astrid Ayu Bestari Koordinator Fungsi Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *